USHUL FIQIH
FATWA TAQLID ITTIBA’ TALFIQ
Dosen Pengampu : Nuryanto MPd.I

Kelompok 13
Disususun Oleh :
Ahmad Shodiq : 13100062
Muhammad Sultoni : 13100762
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB SEMESTER III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
JURAI SIWO METRO
2014/2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wasyukurillahkita ucapkan sebagai bukti syukur kita
kehadirat Allah SWTkarena berkat nikmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa halangan apapun.
Sholawat beserta salam sealu terlimpah kepada nabi Muhammad SAW.
Karena Beliau-lah petunjuk bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Makalah yang kami buat merupakan salah satu tugas mata kuliah yang mana didalamnya menjelaskan
tentang ilmu pendidikan islam. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat menambah khazanah pengetahuan serta membuka
cakrawala kita khususnya tentang
pendidikan Islam. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam membuat
makalah ini tidak luput dari
kesalahan.oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penyusun
harapkan, demi tercapainya makalah yang baik dan benar. Besar harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
PPenyusun
KKelompok 13
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ........................................................................... i
KATA
PENGANTAR ........................................................................ ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................... 2
A.
Fatwa.......................................................................................... 2
B. Taqlid......................................................................................... 2
C. Ittiba’.......................................................................................... 9
D. Talfiq.......................................................................................... 10
BAB III KESIMPULAN..................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu
Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini
sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam
mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan
hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan
dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid dan ittiba’.
Ketiganya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda. Tetapi
ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam
Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.”
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan
dengan:
1. Apa yang dimaksud dengan
taqlid, ittiba’ dan talfiq ?
2. Bagaimanakah hukum-hukum dalam
bertaqlid, berittiba’ maupun bertalfiq ?
3. Bagaimanakah pendapat ulama
mengenai taqlid, ittiba, dan talfiq ?
C. Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan
antara lain :
1. Memberi pemahaman tentang
Pengertian Taqlid dan Talfiq, Perbedaan antara keduanya dengan Ittiba’ dan Hukm
pembagiannya.
2. Untuk bahan diskusi pada mata
kuliah Ushul Fiqih dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah yang
diberikan dosen pembimbimg.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Fatwa
Fatwa dalam
bahasa arab berarti jawaban pertanyaan atau hasil ijtihad atau ketetapan
hukkum. Fatwa adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran isalam yang
disampaikan lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya yakni mufti.
Kumpulan tentang fatwa, seperti fatwa
alamidiriyyah. Di indonesia juga dikenal adanya fatwa majelis ulama
indonesia (MUI).
Maksudnya adalah ketetapan atau
keputusan hukum tentang suatu masalah atau pristiwa yang dinyatakan oleh
keorang nujtahid sebagai hasil ijtihaad-nya
-
Fatwa
khulafa’il arba’ah idzattafaqu
Fatwa yang diberikan oleh khalifah yang empat, apabila kebetulan
itu serupa adanya.
Sebagai ulama berpendapat bahwa fatwa ini dapat dijadikan hujjah.
-
Fatwa
shahbi
Pendapat yang difatwakan oleh seorang ulama shahabi.
Ulama hanafiyah mengakui fatwa shahabi seebagai hujjah,
sedangkn jumhur ulama, mazhab seorang sahabat bukanlah sebagai hujjah.
-
Fatwa
shahbi idza khalafal qiyas
Sebgian ulama berpendapat bahwa shahabi itu menjadi hyjjah apabila
menyalahi qiyas.
Ahmad bin hambal menetapkan bahwa fatwa shahabi sebagai hujjah
dan menetapkannya sesudah hadis shahih, mursal, dan sebelum hadis dhaif, yakni apabila
beliau tidak mendapati hadis shahih dalam permasalahan yang dihadapinya, bliau
mengambil fatwa sahabat dan mendahulukan fatwa sahabat daripada haadis mursl
dan hadis dhaif.[1]
B.
Taqlid
1.
Pengertian dan hukum taqlid
Mengenai pengertian taqlid, ada beberapa ulama mendefinisikan
antara lain:
a. Al-Ghazali dan Ibnu Subhi
العمل بقول من ليس قوله إحدى الحجج الشرعبة بلا حجة منها
Artinya:
“Mengamalkan
pendapat orang yang pendapatnya bukan suatu hujjah syar’iyah tanpa ada hujjah.”
قبول قول بلا حجة
Artinya:
“menerima
suatu pendapat tanpa ada hujjah.”
b.
Al-Amidi
mengemukakan bahwa taqlid adalah:
العمل بقول الغير من غير حجة ملزمة كأخذالعام
وأخذ المجتهد بقول المجتهد مثله
Artinya:
“mengamalkan pendapat orang tanpa ada hujjah yang memastikan
kita menerimanya, seperti orang awam menerima pendapat awam, san seperti
seseorang mujtahid menerima pendapat seseorang mujtahid.”
c.
Dr.
Zakiyyuddin Tasban menafsirkan taqlid sebagai berikut:
التقليد الاخذ بقول الغير من غير معرقة دليله
Artinya:
“Taqlid ialah menerima atau
mengikkutu perkataan orang lain tanpa mengetahui dari mana sumber perkara itu.”
Jelasnya ia mengikuti pendapat orang
lain tanpa mengetahui dari mana suumber pengambilannya, apakah orang itu benar
atau salah. Orang yang bertaqlid disebut mutaqllid.
Bagiorang yang
sudah mencapai tingkat mujtahid, maka dengan kesepakatan fuqaha ia tidak boleh
mengikuti pendapat orang dengan menyalahi hasil ijtihadnya sendiri.
Tetapi kalau dalam suatu persoalan ia sendiri belum mengadakan ijtihad, sedangkan
orang lain telah melakukannya, maka apakah ia boleh mengambil hasil ijtijad
orang lain?
Menurut
pendapat yang kuat, ia tidak boleh mengambil hasil ijtihad orang lain,
dan ia harus mengdakan ijtihad sendiri sebagai kewajiban pokok. Kebolehan
mengikuti orang lain bagi orang awam tidak berlaku bagi orang yang sanggup
melakukan ijtihad sendiri. Kebolehan mengikuti pendapat orang lain bagu orang
biasa hanya terbatas dalam soal-soal furu’ (soal perbuatan lahir), bukan dalam soal soal pokok (kepercayaan) dan
orang yang bisa mengikuti pendapat bukanlah orang yang awam, melainkan orang
yan ahli dalam berijtihad, berdasarkan dugaan (keyakinan) yang maksimal.
Kalau dalam
beberapa negri ada orang yang termasuk dalam tingkat mujtahid, maka siapakah
tang harus diikuti. Menurut satu kedudukan seorang mujtahid yang lebih baik
taat pada agama, karena kedudukan seorang mujtahid bagi orang awam sama dengan
kedudukan dalil-dalil yang syara’ bagi seorang mujtahid, yakni harus diadakan
penarjikan (pemmilihan) mana yang lebih kuat. Menirut pendapat lain, orang awam
bisa mengikuti mujtahid yang lebih disukai, karena dikalangan shabat-sahabat
terdapat ketingkatan-tingkatan keijtihatannya. Meskipun demikian, tidak ada
satu riwayatpun yang menyatakan bahwa orang-orang awam harus mengikuti
sahabat-sahabat tertentu, dan tidak ada kritikan terhadap orang yang mengikuti
mujtahid sahabat dan tingkatan biasa padahal ada mujtahid sahabat lain dari
tingkatan yang labih tinggi.
Apabila
dihubungkan dengan madzhab-madzhab tertentu, maka seseorang bisa mengikuti
suatu madzhab dalam suatu persoalan, dan
bisa menggunakan madzhab lain dengan persoalan yang lain lagi, dengan suarat
tidak ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud
mencari-cari yang mudah-mudah saja.
Disamping taqlid
yang diperbolehkan, terdapat juga beberapa taqlid yang dilarang, antara
lain sebagai berikut:
1.
Taqlid
buta, yaitu memehami sesuatu dengan mutlaq dan membabi buta tanpa
dengan menggunakan ajaran Al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua dan
masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran Al-Qoran dan
hadis.
2.
Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli
atau tidak tentang sesuatu yang kita ikkuti tanpa pamrih.
3.
Taqlid
terdapat orang yang memperoleh hujjah dan dalil bahwa
pendapat orang yang kita taqlid itu bertentangan dengaan ajaran islam atau
sekurang-kurangnya dengan Al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap
suatu pendapat, garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang Imujtahid yang betul betul mengetahui
hukum-hukum allah dan sunah rasul.
Dilihat dari cara berijtihad dapat pula
digunakan cara lain untuk menyelidiki dan memperguanakan alasan atau dasar
hukum, yaitu ittiba’dan tarjih.
2. Syarat-sayarat Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa
dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaklid dan syarat orang yang
di taqlidi.
a. syarat syarat orang yang ditaqlid
syarat
orang yang ditaqlid adalah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti
cara-cara mencari hukum syara’. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang
lebih mengerti hukum-hukum syara’ dan mengamalkannya.
Adapun
orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara’ maka ia harus
berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempin dan
dihawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam
soal-soal ibadah) maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang
pandai lainnya.
b. syarat-syarat yang ditaklidi
sayarat-syarat
yang ditaklidi adakalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara’ dalam
hukum akal tidak boleh bertaklid pada orang lain, seperti mengetahui adanya
dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum lainya,
karena jalan menetap hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang
mempunyai akal karena itu, tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Sedangkan dalam hukum syara’ ad dua hal:
1. ada yang diketahui dengan pasti (Qat’i)
dari agama, seperti wajibnya shalad 5 waktu, puasa rahmadan, haji, zakat, juga
tentang haramnya zina, minumminuman keras. Dam soal-soal tersebut tidak boleh
bertqlid karena semua orang dapat mengetahuinya.
2. ada yang diketahui dnegan
penyelidikan dengan emmeprgunakan dalil seperti soal-soal ibadah yang
kecil-kecil dalam hal ini dibolehkan bertaklid kepada orang lain, berdasarkan
firman allah:
فاسئلوا اهل الذكر ان كنتم لاتعلمون
Artinya:
“ Tanyakanlah kepada ahli dzikir
(orang-orang pandai) apabila kamu tidak mengetahuinya’” (QS. An-Nahl: 43)
Yang bertanya tentunya orang orang yang tidak mengerti hukum.
3.
Pesan-pesan imam empat tentang taqlid
Imam Abu Hanifah berkata:
هذا رأي أبي حنيقة وهو أحسن ما قدّرنا عليه فمن جاء بأحسن منه فهو
أولى بالصواب
Artinnya:
“ini adalah pendapat saya
(Abu Hanifah) dan itulah sebaik baik yang aku dapati padanya maka siapa yang
datang pada ku dengan yang lebih baik dialah yang lebih benar.”
Imam Maliq berkata: “Aku
adalah manusia yang dapat juga salah dapat juga benar, maka lihatlah oleh mu
pendapat mu. Apa yang sesuai dengan kitab allah dan sunah rasulnya (Quran dan
Sunah) maka ambillah. Dan ayng tidak sesuai dengan keduanya itu tingggalkan
lah.”
Imam syafi’i berkata: “Hai
Abu Ishaq! Jaganlah negkau bertaqlid belaka kepada ku dalam segala apa yang aku
katakan, tetapi lihatlah pada dirimu, karena sesungguhnya itu adalah urusan
agama.”
Iamam Ahmad bin Hambal bekata: “Janganlah
engkau mengikuti pendapatku, juga pendapat Maliki, dan pendapat Auza’i, tetapi
caaarilah dari mana mereka mengambilnya.”
4. Perkembangan
Taqlid
Menurut
ahli tarikh tasyri’, zaman taqlid telah mencurigai tiga atau empat periode
dalam sejarah islam:
Pertama : Dari abad keempat Hijrah sampai
jatuhnya baghdad ketangan bangsa tartar (pertangahan abad ketujuh Hijriah).
Kedua : Dari abad keempat Hijriah sampai abad
kesepuluh Hijriah.
Ketiga : Dari abad kesepuluh Hijriah sampai
pada zaman Muhammad Abduh.
Keempat : Masa yang kita tempuh ini.
a.
Periode Taqlid yang Pertama
Sebagaimana yang telah kami terangkan
bahwa dipemulaan abad IV Hijriah, taqlid mulai mempengaru ulama islam.
Masing-masing ulama mulai menerangkan fatwa imamnya dan menyeru pada umatnya
supaya bertaqlid kepada madzhab yang dianutnya.
Ulamak irak memropagandakan supaya orang
ertaqlid supaya orang bertaqlid kepada
mazhab iamam abu hanifah, seddangkan ulama madinah mengharapkan orang
lain bertaqlid kepada madzhab imam mallik. Karena itu, pada kota yang menjadi
pusat ilmu fiqihdan juga kota-kota dan negri-negri lainnya, lahirlah
ulama-ulama yang mengluarkan madzhab imam syafi’i dan imam ahmad ibn hambal.
Dalam periode sedikit sekali ulama yang mempunyai ijtihad merdeka, yanng
berrani menyelidiki hukum-hukum agama ddengan kecakaapan dan ilmunya sendiri.
Ijtiad merekaa hanylah dalam masalah yang belum diijtihadkan oleh imam-imam
mereka; setinggi-tingginya ijtihad mereka adalah menguatkan ( menarjikan)
antata dua perkataan imam yang berlawwanan.
Hanya
dalam saty-satu masalah saja nereja menentangg fatwa imamnya; dan ini pun
jarang pula, laksana api pelita yang kelap-kelap antara hidup dengan mati.
Mulailah hukum-hukum karangan imam masing-masing menjadi mata pelajaran, dikaji
dan dia ajarakan. Diberbagai temapt dan kota serinf didakan munazzaaharah, atau
perdebatanpedebatan untuk menegakkan madzahab imam masing-masing dan karena
ramainya perdebatan itu sering terjadi prtengkaran mulut dan perkelahian.
Pada
periode ini menderu-deru bunyi semoyan, “Kami madzhab Hanafiah, yang disambut oleh semboyan golongan lain: “Kami madzhab
Malikiyah” yang
disambut pula oleh seboyan golongan
lain: “Kami
madzhb syafi’iyah” dan dissudut lain bunyi pula “kami madzhab hambaliah” dan begitu seterusnya.
Ulama-ulama
pada abad IV, V, dan VI sangat famatik pada madzhab masing-masing dan hal itu
terjadi hingga menyebabkan erpecahan sesama umat islam karena berlainan
madzhab.
b.
Periode Taqlid yang Kedua
Di dalam periode taqllid yang pertama,
keberradaan taqlid belum merata. Banyak juga ulama ulama yang berijtihad, walau
pun tidak dengan cara berijtihad, walaupun tidak sebgai ulama mujtahidin di
masa bani umaiyah dan dan pemula masa bani abbas. Dalam periode ini, kelemahan roh ijtihaad lebih nyata lagi,
sdangkan ulama-ualama yang berani merobek tirai taqlid saynagt kurang. Hanya sedikit sekali orang yang berani dan
menghilangkan tirai taqlid yang menggelapkan cahaya ijtihad itu.
Di
antara mereka yang masih menggunakan daya
ijtihad pada periode ini, ialah: Al’Iz ibn Abdis Salim (578H-660H), Ibnu
Daqiqil Ied (615H-702H), Al Bulqini (724H-805H), Ibnu Rif’ah (645H-710H), Ibnu
Hajar A-asqalani (773H-858h), Ibnul Human (790H-911H), Ibnu Taimiyah
(661H-728H). Ibnu Qayyim (691H-751H), Al-Asnawi (714H-784H) Al-Jalalul Mahalli
(791H-864H). Al-Jalalus Sayuti (846H-911H).
c.
Periode Taqlid yang Ketiga
Pada periode kedua sebagaimana telah
diterangkan, masih terdapat ulama yang maju kemuka drajad ijtihad, bekerja
otaknya memikirkan soal-soal peli yang belum dipikirkan oleh para ulama-ulama
pada abad-abad sebelumnya. Mereka mulai berani mngatakan bahwa imamnya, dalam masalah itu
berdalim daif. Ada pula yang membantahtaqlid buta, seperti ibnu taimiyah dan
ibnu qayyim, sehingga mereka dibenci, difitnah oeleh ulama-ulama sessamanya.
Adapun dalam periode ini, roh ijtihad
telah padam sama sssekali, sunyi senyap bagaikan keadaan tengah malam. Fatwa
“haram berijtihad” pun semakin semarak. Bahakn Taqlid dimasa ini tidak langsung lagi kepada seseorang alim yanh telebih
dahulu dari mereka saja. Mereka
menghentikn taqlid kepada ibnu hajar al-haitami, ahmad ar.ramli dan
zakariah al-asyari saja. Peling jauh merek meng hentikan taqlid disisi ibnu
an-nawawi dan ar-rafi’i dari kalangan syafi’iyah, disisi ibnu human di kalangan hanafiah, disisi al-mazari digolongkan
malikiyah, dan ibnu qudamah dikalangan hanabiylah (hambaliyah).
Meskipun pada periode ini, ijtihad telah padam, tetapi karen allah tidak
menghendaki kemusnahannya maka ditengah-tengah negri yaman pada pertengahan
abad XII hijriah berdirilah dua orang Mujtahid yang diakui keluasan ijtihadnya oleh lim ulama yag insyaf, yaitu
muhammad ibnu Ismail Al-Amir ash-Shan’ani pengaarang Shubulullussalam dan al-imam asy-syakani, pengarang Naila Authar.
Pada awalnya abad XX dengan inayah
allah, lahirlah pujangga sunah, ahli politik islam yang terkenal, al-imam
muhammad abduh, dari tepi sungai nil yang menerompetkan ijtihad.
Usaha al-imam muhammad abduh,
menyebabkan roh untuk menyelidiki agama bangkit secara berangsur-ngsur. Semakin
cepat pemeluk-pemeluknya memperoleeh keinsyafan. Masa kembali kepada madzab-madzhab
itu dapat dipersatukan. Masa kepada kitabullah dan sunah rasul dengan
berpedoman kepada aturan-aturan yang telah dipergunakan oleh ujtahidin yang
teleh menyirnakan cahaya nya.
d.
Periode Taqlid yang Keempat
Ketika muhammad abduh muncuk dalam
masyarakat mesir, muncullah ulama-ulama muwalilid memberikan tentangan yang mendasyatkan. Muhammad abduh menyerukan
kepada ulama untuk berujtihad dan menyingkapkan tirei taqlid.
Berkat usaha al-Manar yang dikendalikan oleh As-Sayid, berkumandanglah usaha-usaha untuk
merobek-robek tirai taqlid buta perogesif kian hari bertambah. Sunggh telah
banyak dasar-dasar taqlid yang telah berubah.
e.
Sebab-Sebab Berjangkit Taqlid dalam Masyarakat
Sebab-sebab berjangkitnya ruhhunt taqlid
dan hilangnya nur ijtihad, banyak sekali, dianteranya ialah:
1.
Usaha murid-murid mujtahidin yang berpengaruh dalam
masyarakat. Masing-masing murid harus beruaha mengembangkan paham
(pendapat-pendapat) yang telah dikeluarkan oleh para gurunya. Kemudian mujtahidin
itu mengambil kedudukan yang istimewa damam jiwa rakyat sehingga bagi seorang
alim (mujaddid) mendirikan madzhab ditengah-tengah masyarakat umum.
2.
Kenhakiman atau pengadilan.
Pada saat para mujtahidin telah
mempengaruhi rakyat, maka rakyat pun tidak suka memaki qadi-qadi yang
berpikiraan merdeka. Mereka lebih suka kepada qaddi-qadi yang bermadzhab yang
telh memutuskan hukum dengan pendapt-pendapat imam yang madzhabnya diannut oleh
rakyat. Karena itu, pelaajaran-pelajaran ilmu fiqih pun labih condong hatinya
untuk memperlajari madzhabnya.
3.
Terbuka madzhab
Atas usaha para murid maka madzhan mulai
dibukukan dan disebarkan kedalam masyarakat. Dengan demikian, isinya mudah
dipelajari oleh yang menghendaki; dan ruh taqlid itu berakar dan berurutan
dalam jiwwa manusia.
C. Ittiba’
1.
Pengertian dan
Hukum Ittiba’
Ittiba’ ialah mengikuti pendapat seseorang
mujtahid dengan memehami atau mengerti, baik cara-cara maupin alasan-alasan
yang menjadikan dasar mujtahid yang bersangkutan untuk mnenyalurkanatau
menerapkan garis-garis mengenai sesuatu hal tertentu.
menurut beberapa pendapat sejarah islam,
ittiba’ ialah mengikuti sesseorang karrena jelasdan nyata ddalilnya, sah
madzhabnya, bahkan diperintahkan agama.
Imam syafi’i mengemukakan pada pendapat
bahwa ittiba’ ialah mengikutu pendapat-pendapat yang datang dari nabi muhammad
SAW, dan para shabat atau yang daatang dari tabi’in yang mendatangkan
kebijakan.
Orang –orang yang melakukan ittiba’
disssebut muttabi’ yang jamaknya disebut muttabi’un, bila seseorang tidak
sanggup berijtihad, maka hukum ittiba’ diperbolehkan (iabadah), ittiba’ artiny
mengikuti dan menerima pendapat-pendapat atau garis-garis yang diturunkan oeleh
para mujtahid baik terhadap fatwa mujtahid atau mujtahid yang mengikuti madzhab
maupun terhadap mujtahid langsung dari al-quran dan hadis.
Ittiba’ menurut para ahli ushul fiqih
ialah:
هو قبول قول القاتل وأنت تعرف مأخذه
Artinya:
“menerima atau mengikkuti perkataan orsng lain dengan mengetahui
suber atau alasan perkataan.”
2. Tujuan
Ittiba’
Jelaslah bagi kita bahwa ittiba’
termasuk satu perbuatn yang utama. Dan hukumnya adalah wajib akau sekiranya
kita tidak dapat berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang
muslim agar kita dapat memehami secara baik agama kita dan semua
peraturan-peraturan yang ada didalamnya.
Kita diwajibkan bertnya apabila kita
tidak mengerti sehingga mengerti dan mengetahui dalilnya merupakan faktor yang
sangat penting dalam kesempuraan amal kita.
D. Talfiq
1.
Pengertian dan
Hukum Tafliq
Menurut para ulama, seseorang boleh muqollid mengambil suatu masalah
dari seorang mujtahid dan mengambil masalah dari mujtahid lain. Ia juga boleh
mengambil suatu massalah dari suatu madzhab dan beberapa massalah lain dari
madzhab lain. Suatu masalah boleh diambil dari berbagai hukum yang bertautan
dengan wasilah-wasilah dan muqodimah-muqodimah dari beberapa madzhab dan
beberapa pendapat yang berlain lainan. Inilah yang disebut dengan tafliq. Dalam
melakukan suatu ibadah apakah itu shalat, puasa, zakat, kita bisa mengikuti
aturan dan tata cara yang telah dibukakan suatu madzhab. Dalam melakukan shalat
(umpamanya) kita bukan saja mengikuti Syafi’i tetapi juga mengikuti Hanafi,
sebagai contoh, sewaktu wudhu kita mengikuti cara Syafi’i, namun mengenai
batalnya wudhu, tersebut kita mengikuti madzhab Hanafi, maka yang kita lakukan
ini dikenal dengan nama tafliq.
2. pandangan ulama ushul
tentang tafliq
Fuqaha
dan ahlu ushul beberapa pendapat
tentang hukum tafliq ini, yaitu boleh tidaknya seseorang berpindah madzhab,
baik secara keseluruhan maupun sebagian. Maka kita lebih lanjut pendapat
mereka:
Pendapat
pertama
mengatakan bahwa seseorang telah memiliki (memilih) salah satu madzhab, maka ia
harus tetap pada madzhab yang dipilihnya tiu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada
madzhab yang lain baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Pendapat
kedua
mengatakan bahwa seseorang yang telah memeilih salah satu madzhab boleh
berpindah kemadzhab yang lain walaupun untuk mecari keringan dengan ketentuan
hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut madzhab pertama dan
madzhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini, maka
talfiq dapat dibenarkan.
Pendapat
ketiga
berpkiran bahwa, seorang yang telah memiliki salah satu madzhab tidak ada
larangan agama terhadap dirinya untuk pindah kemadzhab lain walaupun didorong
untuk mencari keringan. Ia dibenarkan menngambil pendapat dari tiap-tiap
madzhab yang dipandangnya mudah dan gampang dengan alasa rasulallah sendiri
kalau disuruh meilih antara dua perkara bliau memilih yang paling mudah selama
itu tak membawa dosa. Didalam salah satu hadisnya juga dikatan, beliau senang
mempermudah urusan umatnya juga ada hadis yang mnegatakann, agama itu mudah.
Maka menurut pendapat ini dengan
berdasarkan alasan diatas talfiq hukumnya mubah (boleh). Golongan ini
dipelopori oleh imam al-kamal humam dari ulama hanafiah.
3. Sebab-sebab terjadinya
talfiq
Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan didalam kitab-kitab
ulama salaf bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius dikalangan mereka.
Oleh kerena itu, dapat kita katakan bahwa talfiq sebnarnya adalah masalah yang
kita kenal didalam permasalah fiqih dewasa, yang sengaja dibuat oleh ulama
khalaf, khususnya pada abad kelima hijriah. Ulama muta’ahirin (Khalaf) yang
memprokalamilkan bahwa pintu ijtihad telah presentasi mengakibatkan
terjangkitnya penyakit taqlid yang mulai dirasan oleh dunia islam,
khususnyaulama-ulama islam.
Dari sinilah muncul ppendapat bahwa
seorang harus terikat dengan salah satu madzhab lain baik secara keseluruhan
maupun sebagian. Pindah dari satu
madzhab ke madzhab lain secara sebagian ini lah yang dikenal sebagai istilah
talfiq.
Pendapat semacam ini cukup menarik
perhatian di dunia islam. Bukan saja di ikuti oleh orang-orang awam, tetapi
juga oelh para ulamanya. Berabad-abad lamannya pendapat ini melanda dunia islam
termasuk indonesia ini. Dengan adanya pendapat ini menurut penulis, wawasan
umat islam khususnya menjadi sempit. Hal ini menyebabkan hukum islam yang
semestinya lues (fleksibel) mejadi loyo, kaku, tidak sehat, dan tidak dinamis
serta tidak berdiri tegak untuk menjawab tantangan zaman. Ketidak berasan ini
tidak muncul dari hukum islam melainkan mucul dari sikap ulama islam yang tidak
tepat dalam mendudukkan hukum islam sebagai akibat dari adanya pendapat yang
sempit sebagai mana yang kita sebutkan diatas.
Penulis
melihat hal ini, sangat perlu dilluruskan dengan cara mendudukkan masalah
talfiq secara propolsional. Untuk itu perlu diadakan penelitian seara terpadu
dengan mengkaji pendapat fuqoha dan para ahli usul nerdasarkan kitab-kitab
turatz (lama) kitab-kitab hadis (moderen) sehingga kita nantinya dapat
membandingkan antara engkajian lama dengan pengkajian baru, selanjutnya kita
menarjihkan manayang lebih rasional dan sesuai dengan perkembangan masa kini
itu lah yang kita mainkan.[2]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Fatwa adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran isalam yang
disampaikan lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya yakni mufti.
2. Dari
pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain
yang berkata, sedangkan si penerima tersebut tidak mengetahui alasan
perkataannya itu.
3. Ittiba’
adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil
suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
4. Talfiq
adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau
dapat dikatakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh
suatu mazhab dengan mazhab lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah
wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi
dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena
mengikuti mazhab Maliki misalnya.
B. Saran
1. Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat
menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Khairul
Uman & Drs. H. A. Achyar Aminudin, 2001. Ushul Fiqih II, Pustaka
Setia, Bandung.
