Selasa, 18 November 2014

MAKALAH USHUL FIQIH FATWA TAQLID ITTIBA’ TALFIQ

USHUL FIQIH
FATWA TAQLID ITTIBA’ TALFIQ
Dosen Pengampu : Nuryanto MPd.I


Kelompok 13
Disususun Oleh          :
Ahmad Shodiq          : 13100062
Muhammad Sultoni  : 13100762


JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB SEMESTER III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
JURAI SIWO METRO
2014/2015


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wasyukurillahkita ucapkan sebagai bukti syukur kita kehadirat Allah SWTkarena berkat nikmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa halangan apapun.
Sholawat beserta salam sealu terlimpah kepada nabi Muhammad SAW. Karena Beliau-lah petunjuk bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Makalah yang kami buat merupakan salah satu tugas mata  kuliah yang mana didalamnya menjelaskan tentang ilmu pendidikan islam. Penulis berharap  semoga makalah ini dapat menambah khazanah pengetahuan serta membuka cakrawala kita khususnya tentang  pendidikan Islam. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam membuat makalah ini  tidak luput dari kesalahan.oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penyusun harapkan, demi tercapainya makalah yang baik dan benar. Besar harapan  penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.





Metro, 28 September 2014
PPenyusun


KKelompok 13



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................        i
KATA PENGANTAR ........................................................................        ii
DAFTAR ISI.........................................................................................        iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................        1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................        2
A.    Fatwa..........................................................................................        2
B.     Taqlid.........................................................................................        2
C.    Ittiba’..........................................................................................        9
D.    Talfiq..........................................................................................        10

BAB III  KESIMPULAN.....................................................................        13
DAFTAR PUSTAKA

 BAB I
PENDAHULUAN
  A.    Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid dan ittiba’. Ketiganya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” 

  B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
  1.      Apa yang dimaksud dengan taqlid, ittiba’ dan talfiq ?
  2.      Bagaimanakah hukum-hukum dalam bertaqlid, berittiba’ maupun bertalfiq ?
  3.      Bagaimanakah pendapat ulama mengenai taqlid, ittiba, dan talfiq ?

  C.     Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan antara lain :
1.    Memberi pemahaman tentang Pengertian Taqlid dan Talfiq, Perbedaan antara keduanya dengan Ittiba’ dan Hukm pembagiannya.
2.    Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Ushul Fiqih dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan dosen pembimbimg.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Fatwa
Fatwa dalam bahasa arab berarti jawaban pertanyaan atau hasil ijtihad atau ketetapan hukkum. Fatwa adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran isalam yang disampaikan lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya yakni mufti. Kumpulan tentang fatwa, seperti  fatwa alamidiriyyah. Di indonesia juga dikenal adanya fatwa majelis ulama indonesia (MUI).
Maksudnya adalah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau pristiwa yang dinyatakan oleh keorang nujtahid sebagai hasil ijtihaad-nya
-          Fatwa khulafa’il arba’ah idzattafaqu
Fatwa yang diberikan oleh khalifah yang empat, apabila kebetulan itu serupa adanya.
Sebagai ulama berpendapat bahwa fatwa ini dapat dijadikan hujjah.
-          Fatwa shahbi
Pendapat yang difatwakan oleh seorang ulama shahabi.
Ulama hanafiyah mengakui fatwa shahabi seebagai hujjah, sedangkn jumhur ulama, mazhab seorang sahabat bukanlah sebagai hujjah.
-          Fatwa shahbi idza khalafal qiyas
Sebgian ulama berpendapat bahwa shahabi itu menjadi hyjjah apabila menyalahi qiyas.
Ahmad bin hambal menetapkan bahwa fatwa shahabi sebagai hujjah dan menetapkannya sesudah hadis shahih, mursal,  dan sebelum hadis dhaif, yakni apabila beliau tidak mendapati hadis shahih dalam permasalahan yang dihadapinya, bliau mengambil fatwa sahabat dan mendahulukan fatwa sahabat daripada haadis mursl dan hadis dhaif.[1]
B.     Taqlid
1.      Pengertian dan hukum taqlid
Mengenai pengertian taqlid, ada beberapa ulama mendefinisikan antara lain:
a.       Al-Ghazali dan Ibnu Subhi
العمل بقول من ليس قوله إحدى الحجج الشرعبة بلا حجة منها
Artinya:
Mengamalkan pendapat orang yang pendapatnya bukan suatu hujjah syar’iyah tanpa ada hujjah.”
قبول قول بلا حجة
Artinya:
menerima suatu pendapat tanpa ada hujjah.”
b.      Al-Amidi mengemukakan bahwa taqlid adalah:
العمل بقول الغير من غير حجة ملزمة كأخذالعام وأخذ المجتهد بقول المجتهد مثله
Artinya:
mengamalkan pendapat orang tanpa ada hujjah yang memastikan kita menerimanya, seperti orang awam menerima pendapat awam, san seperti seseorang mujtahid menerima pendapat seseorang mujtahid.”

c.       Dr. Zakiyyuddin Tasban menafsirkan taqlid sebagai berikut:
التقليد الاخذ بقول الغير من غير معرقة دليله
Artinya:
Taqlid ialah menerima atau mengikkutu perkataan orang lain tanpa mengetahui dari mana sumber perkara itu.”
Jelasnya ia mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana suumber pengambilannya, apakah orang itu benar atau salah. Orang yang bertaqlid disebut mutaqllid.
Bagiorang yang sudah mencapai tingkat mujtahid, maka dengan kesepakatan fuqaha ia tidak boleh mengikuti pendapat orang dengan menyalahi hasil ijtihadnya sendiri. Tetapi kalau dalam suatu persoalan ia sendiri belum mengadakan ijtihad, sedangkan orang lain telah melakukannya, maka apakah ia boleh mengambil hasil ijtijad orang lain?
Menurut pendapat yang kuat, ia tidak boleh mengambil hasil ijtihad orang lain, dan ia harus mengdakan ijtihad sendiri sebagai kewajiban pokok. Kebolehan mengikuti orang lain bagi orang awam tidak berlaku bagi orang yang sanggup melakukan ijtihad sendiri. Kebolehan mengikuti pendapat orang lain bagu orang biasa hanya terbatas dalam soal-soal furu’ (soal perbuatan lahir),  bukan dalam soal soal pokok (kepercayaan) dan orang yang bisa mengikuti pendapat bukanlah orang yang awam, melainkan orang yan ahli dalam berijtihad, berdasarkan dugaan (keyakinan) yang maksimal.
Kalau dalam beberapa negri ada orang yang termasuk dalam tingkat mujtahid, maka siapakah tang harus diikuti. Menurut satu kedudukan seorang mujtahid yang lebih baik taat pada agama, karena kedudukan seorang mujtahid bagi orang awam sama dengan kedudukan dalil-dalil yang syara’ bagi seorang mujtahid, yakni harus diadakan penarjikan (pemmilihan) mana yang lebih kuat. Menirut pendapat lain, orang awam bisa mengikuti mujtahid yang lebih disukai, karena dikalangan shabat-sahabat terdapat ketingkatan-tingkatan keijtihatannya. Meskipun demikian, tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa orang-orang awam harus mengikuti sahabat-sahabat tertentu, dan tidak ada kritikan terhadap orang yang mengikuti mujtahid sahabat dan tingkatan biasa padahal ada mujtahid sahabat lain dari tingkatan yang labih tinggi.
Apabila dihubungkan dengan madzhab-madzhab tertentu, maka seseorang bisa mengikuti suatu madzhab dalam suatu persoalan,  dan bisa menggunakan madzhab lain dengan persoalan yang lain lagi, dengan suarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja.
Disamping taqlid yang diperbolehkan, terdapat juga beberapa taqlid yang dilarang, antara lain sebagai berikut:
1.    Taqlid buta, yaitu memehami sesuatu dengan mutlaq dan membabi buta tanpa dengan menggunakan ajaran Al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua dan masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran Al-Qoran dan hadis.
2.    Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang sesuatu yang kita ikkuti tanpa pamrih.
3.    Taqlid terdapat orang yang memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlid itu bertentangan dengaan ajaran islam atau sekurang-kurangnya dengan Al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat, garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang Imujtahid yang betul betul mengetahui hukum-hukum allah dan sunah rasul.
Dilihat dari cara berijtihad dapat pula digunakan cara lain untuk menyelidiki dan memperguanakan alasan atau dasar hukum, yaitu ittiba’dan tarjih.


2. Syarat-sayarat Taqlid
        Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaklid dan syarat orang yang di taqlidi.
a. syarat syarat orang yang ditaqlid
     syarat orang yang ditaqlid adalah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara’. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara’ dan mengamalkannya.
     Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara’ maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempin dan dihawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah) maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
b. syarat-syarat yang ditaklidi
     sayarat-syarat yang ditaklidi adakalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara’ dalam hukum akal tidak boleh bertaklid pada orang lain, seperti mengetahui adanya dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum lainya, karena jalan menetap hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal karena itu, tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Sedangkan dalam hukum syara’ ad dua hal:
1. ada yang diketahui dengan pasti (Qat’i) dari agama, seperti wajibnya shalad 5 waktu, puasa rahmadan, haji, zakat, juga tentang haramnya zina, minumminuman keras. Dam soal-soal tersebut tidak boleh bertqlid karena semua orang dapat mengetahuinya.
2. ada yang diketahui dnegan penyelidikan dengan emmeprgunakan dalil seperti soal-soal ibadah yang kecil-kecil dalam hal ini dibolehkan bertaklid kepada orang lain, berdasarkan firman allah:
فاسئلوا اهل الذكر ان كنتم لاتعلمون
Artinya:
Tanyakanlah kepada ahli dzikir (orang-orang pandai) apabila kamu tidak mengetahuinya’” (QS. An-Nahl: 43)
Yang bertanya tentunya orang orang yang tidak mengerti hukum.


3. Pesan-pesan imam empat tentang taqlid
     Imam Abu Hanifah berkata:
هذا رأي أبي حنيقة وهو أحسن ما قدّرنا عليه فمن جاء بأحسن منه فهو أولى بالصواب
Artinnya:
ini adalah pendapat saya (Abu Hanifah) dan itulah sebaik baik yang aku dapati padanya maka siapa yang datang pada ku dengan yang lebih baik dialah yang lebih benar.”
Imam Maliq berkata: “Aku adalah manusia yang dapat juga salah dapat juga benar, maka lihatlah oleh mu pendapat mu. Apa yang sesuai dengan kitab allah dan sunah rasulnya (Quran dan Sunah) maka ambillah. Dan ayng tidak sesuai dengan keduanya itu tingggalkan lah.”
Imam syafi’i berkata: “Hai Abu Ishaq! Jaganlah negkau bertaqlid belaka kepada ku dalam segala apa yang aku katakan, tetapi lihatlah pada dirimu, karena sesungguhnya itu adalah urusan agama.”
Iamam Ahmad bin Hambal bekata: “Janganlah engkau mengikuti pendapatku, juga pendapat Maliki, dan pendapat Auza’i, tetapi caaarilah dari mana mereka mengambilnya.”

4.    Perkembangan Taqlid
Menurut ahli tarikh tasyri’, zaman taqlid telah mencurigai tiga atau empat periode dalam sejarah islam:
Pertama       : Dari abad keempat Hijrah sampai jatuhnya baghdad ketangan bangsa tartar (pertangahan abad ketujuh Hijriah).
Kedua         : Dari abad keempat Hijriah sampai abad kesepuluh Hijriah.
Ketiga         : Dari abad kesepuluh Hijriah sampai pada zaman Muhammad Abduh.
Keempat     : Masa yang kita tempuh ini.
a.      Periode Taqlid yang Pertama
Sebagaimana yang telah kami terangkan bahwa dipemulaan abad IV Hijriah, taqlid mulai mempengaru ulama islam. Masing-masing ulama mulai menerangkan fatwa imamnya dan menyeru pada umatnya supaya bertaqlid kepada madzhab yang dianutnya.
Ulamak irak memropagandakan supaya orang ertaqlid supaya orang bertaqlid kepada  mazhab iamam abu hanifah, seddangkan ulama madinah mengharapkan orang lain bertaqlid kepada madzhab imam mallik. Karena itu, pada kota yang menjadi pusat ilmu fiqihdan juga kota-kota dan negri-negri lainnya, lahirlah ulama-ulama yang mengluarkan madzhab imam syafi’i dan imam ahmad ibn hambal. Dalam periode sedikit sekali ulama yang mempunyai ijtihad merdeka, yanng berrani menyelidiki hukum-hukum agama ddengan kecakaapan dan ilmunya sendiri. Ijtiad merekaa hanylah dalam masalah yang belum diijtihadkan oleh imam-imam mereka; setinggi-tingginya ijtihad mereka adalah menguatkan ( menarjikan) antata dua perkataan imam yang berlawwanan.
  Hanya dalam saty-satu masalah saja nereja menentangg fatwa imamnya; dan ini pun jarang pula, laksana api pelita yang kelap-kelap antara hidup dengan mati. Mulailah hukum-hukum karangan imam masing-masing menjadi mata pelajaran, dikaji dan dia ajarakan. Diberbagai temapt dan kota serinf didakan munazzaaharah, atau perdebatanpedebatan untuk menegakkan madzahab imam masing-masing dan karena ramainya perdebatan itu sering terjadi prtengkaran mulut dan perkelahian.
  Pada periode ini menderu-deru bunyi semoyan, “Kami madzhab Hanafiah, yang disambut oleh semboyan golongan lain: “Kami madzhab Malikiyah” yang disambut pula oleh seboyan  golongan lain: “Kami madzhb syafi’iyah” dan dissudut lain bunyi pula “kami madzhab hambaliah” dan begitu seterusnya.
  Ulama-ulama pada abad IV, V, dan VI sangat famatik pada madzhab masing-masing dan hal itu terjadi hingga menyebabkan erpecahan sesama umat islam karena berlainan madzhab.

b.      Periode Taqlid yang Kedua
Di dalam periode taqllid yang pertama, keberradaan taqlid belum merata. Banyak juga ulama ulama yang berijtihad, walau pun tidak dengan cara berijtihad, walaupun tidak sebgai ulama mujtahidin di masa bani umaiyah dan dan pemula masa bani abbas. Dalam periode ini,  kelemahan roh ijtihaad lebih nyata lagi, sdangkan ulama-ualama yang berani merobek tirai taqlid saynagt kurang. Hanya sedikit sekali orang yang berani dan menghilangkan tirai taqlid yang menggelapkan cahaya ijtihad itu.
  Di antara mereka yang masih menggunakan daya  ijtihad pada periode ini, ialah: Al’Iz ibn Abdis Salim (578H-660H), Ibnu Daqiqil Ied (615H-702H), Al Bulqini (724H-805H), Ibnu Rif’ah (645H-710H), Ibnu Hajar A-asqalani (773H-858h), Ibnul Human (790H-911H), Ibnu Taimiyah (661H-728H). Ibnu Qayyim (691H-751H), Al-Asnawi (714H-784H) Al-Jalalul Mahalli (791H-864H). Al-Jalalus Sayuti (846H-911H).
c.       Periode Taqlid yang Ketiga
Pada periode kedua sebagaimana telah diterangkan, masih terdapat ulama yang maju kemuka drajad ijtihad, bekerja otaknya memikirkan soal-soal peli yang belum dipikirkan oleh para ulama-ulama pada abad-abad sebelumnya. Mereka mulai berani  mngatakan bahwa imamnya, dalam masalah itu berdalim daif. Ada pula yang membantahtaqlid buta, seperti ibnu taimiyah dan ibnu qayyim, sehingga mereka dibenci, difitnah oeleh ulama-ulama sessamanya.
Adapun dalam periode ini, roh ijtihad telah padam sama sssekali, sunyi senyap bagaikan keadaan tengah malam. Fatwa “haram berijtihad” pun semakin semarak. Bahakn Taqlid dimasa ini tidak langsung lagi kepada seseorang alim yanh telebih dahulu dari mereka saja. Mereka  menghentikn taqlid kepada ibnu hajar al-haitami, ahmad ar.ramli dan zakariah al-asyari saja. Peling jauh merek meng hentikan taqlid disisi ibnu an-nawawi dan ar-rafi’i dari kalangan syafi’iyah, disisi ibnu human di kalangan hanafiah, disisi al-mazari digolongkan malikiyah, dan ibnu qudamah dikalangan hanabiylah (hambaliyah).
Meskipun pada periode ini, ijtihad telah padam, tetapi karen allah tidak menghendaki kemusnahannya maka ditengah-tengah negri yaman pada pertengahan abad XII hijriah berdirilah dua orang Mujtahid yang diakui keluasan ijtihadnya oleh lim ulama yag insyaf, yaitu muhammad ibnu Ismail Al-Amir ash-Shan’ani pengaarang Shubulullussalam dan al-imam asy-syakani, pengarang Naila Authar.
Pada awalnya abad XX dengan inayah allah, lahirlah pujangga sunah, ahli politik islam yang terkenal, al-imam muhammad abduh, dari tepi sungai nil yang menerompetkan ijtihad.
Usaha al-imam muhammad abduh, menyebabkan roh untuk menyelidiki agama bangkit secara berangsur-ngsur. Semakin cepat pemeluk-pemeluknya memperoleeh keinsyafan. Masa kembali kepada madzab-madzhab itu dapat dipersatukan. Masa kepada kitabullah dan sunah rasul dengan berpedoman kepada aturan-aturan yang telah dipergunakan oleh ujtahidin yang teleh menyirnakan cahaya nya.
d.      Periode Taqlid yang Keempat
Ketika muhammad abduh muncuk dalam masyarakat mesir, muncullah ulama-ulama muwalilid memberikan tentangan yang mendasyatkan. Muhammad abduh menyerukan kepada ulama untuk berujtihad dan menyingkapkan tirei taqlid.
Berkat usaha al-Manar yang dikendalikan oleh As-Sayid, berkumandanglah usaha-usaha untuk merobek-robek tirai taqlid buta perogesif kian hari bertambah. Sunggh telah banyak dasar-dasar taqlid yang telah berubah.
e.       Sebab-Sebab Berjangkit Taqlid dalam Masyarakat
Sebab-sebab berjangkitnya ruhhunt taqlid dan hilangnya nur ijtihad, banyak sekali, dianteranya ialah:
1.         Usaha murid-murid mujtahidin yang berpengaruh dalam masyarakat. Masing-masing murid harus beruaha mengembangkan paham (pendapat-pendapat) yang telah dikeluarkan oleh para gurunya. Kemudian mujtahidin itu mengambil kedudukan yang istimewa damam jiwa rakyat sehingga bagi seorang alim (mujaddid) mendirikan madzhab ditengah-tengah masyarakat umum.
2.         Kenhakiman atau pengadilan.
Pada saat para mujtahidin telah mempengaruhi rakyat, maka rakyat pun tidak suka memaki qadi-qadi yang berpikiraan merdeka. Mereka lebih suka kepada qaddi-qadi yang bermadzhab yang telh memutuskan hukum dengan pendapt-pendapat imam yang madzhabnya diannut oleh rakyat. Karena itu, pelaajaran-pelajaran ilmu fiqih pun labih condong hatinya untuk memperlajari madzhabnya.
3.         Terbuka madzhab
Atas usaha para murid maka madzhan mulai dibukukan dan disebarkan kedalam masyarakat. Dengan demikian, isinya mudah dipelajari oleh yang menghendaki; dan ruh taqlid itu berakar dan berurutan dalam jiwwa manusia.

C.    Ittiba’
1.      Pengertian dan Hukum Ittiba’
Ittiba’ ialah mengikuti pendapat seseorang mujtahid dengan memehami atau mengerti, baik cara-cara maupin alasan-alasan yang menjadikan dasar mujtahid yang bersangkutan untuk mnenyalurkanatau menerapkan garis-garis mengenai sesuatu hal tertentu.
menurut beberapa pendapat sejarah islam, ittiba’ ialah mengikuti sesseorang karrena jelasdan nyata ddalilnya, sah madzhabnya, bahkan diperintahkan agama.
Imam syafi’i mengemukakan pada pendapat bahwa ittiba’ ialah mengikutu pendapat-pendapat yang datang dari nabi muhammad SAW, dan para shabat atau yang daatang dari tabi’in yang mendatangkan kebijakan.
Orang –orang yang melakukan ittiba’ disssebut muttabi’ yang jamaknya disebut muttabi’un, bila seseorang tidak sanggup berijtihad, maka hukum ittiba’ diperbolehkan (iabadah), ittiba’ artiny mengikuti dan menerima pendapat-pendapat atau garis-garis yang diturunkan oeleh para mujtahid baik terhadap fatwa mujtahid atau mujtahid yang mengikuti madzhab maupun terhadap mujtahid langsung dari al-quran dan hadis.
Ittiba’ menurut para ahli ushul fiqih ialah:
هو قبول قول القاتل وأنت تعرف مأخذه
Artinya:
menerima atau mengikkuti perkataan orsng lain dengan mengetahui suber atau alasan perkataan.”
2.      Tujuan Ittiba’
Jelaslah bagi kita bahwa ittiba’ termasuk satu perbuatn yang utama. Dan hukumnya adalah wajib akau sekiranya kita tidak dapat berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang muslim agar kita dapat memehami secara baik agama kita dan semua peraturan-peraturan yang ada didalamnya.
Kita diwajibkan bertnya apabila kita tidak mengerti sehingga mengerti dan mengetahui dalilnya merupakan faktor yang sangat penting dalam kesempuraan amal kita.
D.    Talfiq
1.      Pengertian dan Hukum Tafliq
Menurut para ulama, seseorang boleh muqollid mengambil suatu masalah dari seorang mujtahid dan mengambil masalah dari mujtahid lain. Ia juga boleh mengambil suatu massalah dari suatu madzhab dan beberapa massalah lain dari madzhab lain. Suatu masalah boleh diambil dari berbagai hukum yang bertautan dengan wasilah-wasilah dan muqodimah-muqodimah dari beberapa madzhab dan beberapa pendapat yang berlain lainan. Inilah yang disebut dengan tafliq. Dalam melakukan suatu ibadah apakah itu shalat, puasa, zakat, kita bisa mengikuti aturan dan tata cara yang telah dibukakan suatu madzhab. Dalam melakukan shalat (umpamanya) kita bukan saja mengikuti Syafi’i tetapi juga mengikuti Hanafi, sebagai contoh, sewaktu wudhu kita mengikuti cara Syafi’i, namun mengenai batalnya wudhu, tersebut kita mengikuti madzhab Hanafi, maka yang kita lakukan ini dikenal dengan nama tafliq.
2.    pandangan ulama ushul tentang tafliq
Fuqaha dan ahlu ushul beberapa pendapat tentang hukum tafliq ini, yaitu boleh tidaknya seseorang berpindah madzhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Maka kita lebih lanjut pendapat mereka:
            Pendapat pertama mengatakan bahwa seseorang telah memiliki (memilih) salah satu madzhab, maka ia harus tetap pada madzhab yang dipilihnya tiu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada madzhab yang lain baik secara keseluruhan maupun sebagian.
            Pendapat kedua mengatakan bahwa seseorang yang telah memeilih salah satu madzhab boleh berpindah kemadzhab yang lain walaupun untuk mecari keringan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut madzhab pertama dan madzhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini, maka talfiq dapat dibenarkan.
            Pendapat ketiga berpkiran bahwa, seorang yang telah memiliki salah satu madzhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah kemadzhab lain walaupun didorong untuk mencari keringan. Ia dibenarkan menngambil pendapat dari tiap-tiap madzhab yang dipandangnya mudah dan gampang dengan alasa rasulallah sendiri kalau disuruh meilih antara dua perkara bliau memilih yang paling mudah selama itu tak membawa dosa. Didalam salah satu hadisnya juga dikatan, beliau senang mempermudah urusan umatnya juga ada hadis yang mnegatakann, agama itu mudah.
            Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan diatas talfiq hukumnya mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh imam al-kamal humam dari ulama hanafiah.
3.    Sebab-sebab terjadinya talfiq
            Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan didalam kitab-kitab ulama salaf bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius dikalangan mereka. Oleh kerena itu, dapat kita katakan bahwa talfiq sebnarnya adalah masalah yang kita kenal didalam permasalah fiqih dewasa, yang sengaja dibuat oleh ulama khalaf, khususnya pada abad kelima hijriah. Ulama muta’ahirin (Khalaf) yang memprokalamilkan bahwa pintu ijtihad telah presentasi mengakibatkan terjangkitnya penyakit taqlid yang mulai dirasan oleh dunia islam, khususnyaulama-ulama islam.
            Dari sinilah muncul ppendapat bahwa seorang harus terikat dengan salah satu madzhab lain baik secara keseluruhan maupun sebagian.  Pindah dari satu madzhab ke madzhab lain secara sebagian ini lah yang dikenal sebagai istilah talfiq.
            Pendapat semacam ini cukup menarik perhatian di dunia islam. Bukan saja di ikuti oleh orang-orang awam, tetapi juga oelh para ulamanya. Berabad-abad lamannya pendapat ini melanda dunia islam termasuk indonesia ini. Dengan adanya pendapat ini menurut penulis, wawasan umat islam khususnya menjadi sempit. Hal ini menyebabkan hukum islam yang semestinya lues (fleksibel) mejadi loyo, kaku, tidak sehat, dan tidak dinamis serta tidak berdiri tegak untuk menjawab tantangan zaman. Ketidak berasan ini tidak muncul dari hukum islam melainkan mucul dari sikap ulama islam yang tidak tepat dalam mendudukkan hukum islam sebagai akibat dari adanya pendapat yang sempit sebagai mana yang kita sebutkan diatas.
            Penulis melihat hal ini, sangat perlu dilluruskan dengan cara mendudukkan masalah talfiq secara propolsional. Untuk itu perlu diadakan penelitian seara terpadu dengan mengkaji pendapat fuqoha dan para ahli usul nerdasarkan kitab-kitab turatz (lama) kitab-kitab hadis (moderen) sehingga kita nantinya dapat membandingkan antara engkajian lama dengan pengkajian baru, selanjutnya kita menarjihkan manayang lebih rasional dan sesuai dengan perkembangan masa kini itu lah yang kita mainkan.[2]


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
1.  Fatwa adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran isalam yang disampaikan lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya yakni mufti.
2.  Dari pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya itu.
3.  Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
4.  Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau dapat dikatakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh suatu mazhab dengan mazhab lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.

 B.     Saran
1.    Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. Khairul Uman & Drs. H. A. Achyar Aminudin, 2001. Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung.
Drs. Totok Jumantoro, M.A., dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005.  Kamus Ilmu Ushul Fikih, Sinar Grafika Offset, jakarta.


[1] Drs. Totok Jumantoro, M.A., dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Kamus Ilmu Ushul Fikih, Sinar Grafika Offset, jakarta, 2005., hlm. 62-63.
[2] Drs. Khairul Uman & Drs. H. A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung. 2001. Cetakan ke2.